Bermula di Kebun Karet Saudagar Tiongkok
Rimbunan perkebunan karet seluas 300 hektar yang terhampar di jantung
pusat kota Jakarta, terpaksa harus tergusur akibat perkembangan zaman ke
arah modernisasi.
Pohon-pohon karet kini berganti wajah dengan gedung-gedung pencakar
langit. Daerah yang dikenal dengan nama Karet Tengsing itu memiliki
sejarah yang cukup panjang.
Menurut salah satu sesepuh Karet Tengsin, Husni MT, 60 tahun, asal mula
nama daerah yang kini termasuk kawasan Segitiga Emas Kuningan, berasal
dari nama orang China yang kaya raya dan baik hati.
Orang itu bernama Tan Tieng Shin. Karena baik hati dan selalu memberi
bantuan kepada orang-orang sekitar kampung, maka Tieng Shin cepat
dikenal oleh masyarakat sekitar dan selalu menyebut daerah itu sebagai
daerah Tieng Shin.
"Karena orang pribumi susah nyebutnya jadi Tengsin saja," ujarnya kepada VIVAnews.
Memang pada waktu itu banyak pohon karet, Karet Tengsin dulunya adalah
perkebunan karet milik etnis China Betawi bernama Tieng Shin. "Di sini
dulunya hutan yang ditubuhi berbagai macam pohon. Salah satunya pohon
karet. Hutan ini kemudian berubah menjadi perkebunan karet oleh Tieng
Shin," ungkapnya.
Karena kekayaan yang berlimpah dan sikapnya yang dermawan membuat para pribumi banyak bekerja di perkebunan miliknya.
"Warga di sini dulunya hidup sejahtera, kita biasanya makan dari hasil
hutan yang cukup berlimpah. Banyak sayur mayur yang tumbuh subur. Jadi
tidak udah beli tinggal ambil saja," ujar Ketua RT 06 RW 02 Karet
Tengsin ini.
Husni mengakui jika kakeknya Saidi merupakan teman akrab Tieng Shin. Tak
hayal dirinya pun mengetahui sejarah tersebut. "Tieng Shin sudah berada
di sini sejak 1890, dia memiliki rumah yang sekarang dibongkar menjadi
Menara Batavia," tuturnya.
Perkebunan karet milik Tieng Shin akhirnya tergusur setelah dibangunnya
Stadion Gelora Bung Karno. "Jalan KH Mas Mansyur dulunya kebun karet,
tapi akhirnya ditebang untuk dijadikan jalan," kenangnya.
Kebun-kebun yang rindang dengan pohon karet akhirnya mulai menghilang,
namun jejak keluarga Tieng Shin masih tetap bertahan meskipun tidak
berlangsung lama.
"Pasca meninggalnya Tieng Shin, anak dan cucu masih menetap, tapi tidak
lama. Sejak rumah mereka juga ikut tergusur, jejak itu sirna," katanya.
Husni mengaku sedih dengan kondisi Karet Tengsin saat ini. Warganya
menjadi susah, lingkungan menjadi kumuh. Penduduk asli pun tak kuasa
dengan adanya serangan dari gedung-gedung pencakar langit yang mulai
menutupi rumahnya dari sinar matahari.
Satu persatu mereka mulai angkat kaki dari perkebunan karet itu.
Kali Krukrut yang melintasi perkebunan Karet Tengsin pun ikut terkena
dari dampak modernisasi. "Dulu kalinya bening, kita masih suka mancing,
mencuci, dan mandi. Tapi sekarang airnya kotor," ujarnya lirih.
Kini Karet Tengsin hanya sepenggal cerita massa lalu yang selalu
terkenang dengan keindahan perkebunan karetnya. Karet Tengsin merupakan
Kelurahan di Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Karet Tengsin memiliki 70 RT yang terangkum dalam 9 Rukun Warga. Jumlah warga Karet Tengsin hampir 15 ribu jiwa.
Mereka tinggal di atas lahan, termasuk lahan Pemakaman Karet Bivak yang terkenal itu seluas 153 hektar.
sumber : vivanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar