Indonesia negara subur bukan lagi suatu hal yang di pertanyakan kebenaranya. Tapi ketika ada pernyataan jadi
Indonesia adalah negara yang makmur dalam pertanian, maka itulah yang menjadi
pertanyaan besar. Bicara kemakmuran pertanian yang artinya terkait dengan
ketahanan pangan, swasembada pangan, kemandirian pangan itu masih sangat
dipertanyakan, belum lagi jika bicara produk produk non pangan yang di hasilkan
dari pertanian yang seharusnya Indonesia menjadi produsen nomor wahid sejagat
raya ini juga masih sangat di pertanyakan, Bagai mana jika kita bertanya
tentang kehidupan petani, ada yang menjawab sudah tidak perlu dipertanyakan
(dalam tanda kutip) ada pula yang menjawab itu pertanyaan yang besar dan tiada
akhir.
Bermula dari adanya tuan tanah
tuan tanah yang katanya menimbulkan kesenjangan dan mengarah pada perbudakan
dilahan lahan petanian. Maka dirumuskanlan undang undang agraria yang salah
satunya melahirkan istilah landreform yang pada dasarnya adalah mengahupuskan
penguasaan tanah yang begitu besar (tidak terbatas) oleh para tuan tanah yang
ada pada saat itu, dan dengan beberapa alasan lain yaitu menghapus perbudakan
yang terjadi saat itu dengan tujuan menghilangkan kesenjangan sosial antra si
tuan tanah dan buruh tani saat itu. Pemerintah telah membuat kebijakan yang
naif, yaitu sebuah kebijakan yang atas dasar untuk menghilangkan kesenjangan
sosial antara tuan tanah dan buruh tani bukan dengan melahirkan kebijakan yang
mengakat kesejahteraan buruh tani (pengarap) atau membuat payung hukum yang melindungi hak hak
dan martabat buruh tani (penggarap). Tapi pemerintah mengeluarkan suatu
kebijakan dengan menurunkan harkat tuan tanah menjadi sama dengan harkat buruh
petani. Singga yang terjadi saat ini adalah turunya harkat tuan tanah sementara
harkat dan nasib pentani pun tidak naik yang artinya masih sama menempati pada
garis maginal seperti yang kita lihat saat ini.
Landreform mengharuskan para
tuan tuan tanah merelakan tanahnya di bagi bagikan kedapa buruh tani yang saat
itu tidak memiliki tanah, kebijakan pemerintah saat itu adalah agar para buruh
mendapat kesempatan untuk mengadu nasib dan bersaing dengan para tuan tuan
tanah. Menurut saya itu adalah kebijakan yang bodoh, bagaimana tidak ? dari
100% buruh tani 90% nya adalah orang yang tidak mampu bersaing karena malas,
tidak punya cita cita tinggi, pasrah, mudah menyerah dan 10% adalah orang orang
yang memang berkwalitas tapi tidak punya kesempatan. Jadi apa yang terjadi
ketika tanah tanah dibagikan maka kemungkinan 90% akan di jual oleh mereka dan
merak tetap akan menjadi buruh tani dan hanya 10% yang dapat mempertahankan
lahan miliknya itupun sampai kapan mereka dapat mempertahanya masih perlu dikaji
lebih jauh.
Undang undang agraria dilain sisi
memberi kesempatan kepada pengusaha untuk menguasai lahan dengan luas beratus
ratus hektar yang menjadikan segelintir pengusaha tersebut menjadi raja raja
tanah, sementara para taun tuan tuan tanah dan buruh tani menjadi cacing tanah.
Pembatasan lahan memang perlu
tapi harus di tinjau lagi, kepemilikan lahan dengan maksimal 2 hektar adalah
sangat minim sekali dimana dengan lahan tersebut petani hanya dapat pertahan
untuk hidup tidak ada ruang gerak bagi petani untuk berinovasi untuk membuat
hidupnya lebih layak bahkan tiba saatnya ketika para pentani harus menjual
lahanya untuk kebutuhan yang sangat mendesak.
Salam Petani
By : esawe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar