Kamis, 12 Desember 2013

UU Agraria VS Nasib Petani

Indonesia negara subur bukan lagi suatu hal yang di pertanyakan kebenaranya. Tapi ketika ada pernyataan jadi Indonesia adalah negara yang makmur dalam pertanian, maka itulah yang menjadi pertanyaan besar. Bicara kemakmuran pertanian yang artinya terkait dengan ketahanan pangan, swasembada pangan, kemandirian pangan itu masih sangat dipertanyakan, belum lagi jika bicara produk produk non pangan yang di hasilkan dari pertanian yang seharusnya Indonesia menjadi produsen nomor wahid sejagat raya ini juga masih sangat di pertanyakan, Bagai mana jika kita bertanya tentang kehidupan petani, ada yang menjawab sudah tidak perlu dipertanyakan (dalam tanda kutip) ada pula yang menjawab itu pertanyaan yang besar dan tiada akhir.


Bermula dari adanya tuan tanah tuan tanah yang katanya menimbulkan kesenjangan dan mengarah pada perbudakan dilahan lahan petanian. Maka dirumuskanlan undang undang agraria yang salah satunya melahirkan istilah landreform yang pada dasarnya adalah mengahupuskan penguasaan tanah yang begitu besar (tidak terbatas) oleh para tuan tanah yang ada pada saat itu, dan dengan beberapa alasan lain yaitu menghapus perbudakan yang terjadi saat itu dengan tujuan menghilangkan kesenjangan sosial antra si tuan tanah dan buruh tani saat itu. Pemerintah telah membuat kebijakan yang naif, yaitu sebuah kebijakan yang atas dasar untuk menghilangkan kesenjangan sosial antara tuan tanah dan buruh tani bukan dengan melahirkan kebijakan yang mengakat kesejahteraan buruh tani (pengarap) atau  membuat payung hukum yang melindungi hak hak dan martabat buruh tani (penggarap). Tapi pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan dengan menurunkan harkat tuan tanah menjadi sama dengan harkat buruh petani. Singga yang terjadi saat ini adalah turunya harkat tuan tanah sementara harkat dan nasib pentani pun tidak naik yang artinya masih sama menempati pada garis maginal seperti yang kita lihat saat ini.

Landreform mengharuskan para tuan tuan tanah merelakan tanahnya di bagi bagikan kedapa buruh tani yang saat itu tidak memiliki tanah, kebijakan pemerintah saat itu adalah agar para buruh mendapat kesempatan untuk mengadu nasib dan bersaing dengan para tuan tuan tanah. Menurut saya itu adalah kebijakan yang bodoh, bagaimana tidak ? dari 100% buruh tani 90% nya adalah orang yang tidak mampu bersaing karena malas, tidak punya cita cita tinggi, pasrah, mudah menyerah dan 10% adalah orang orang yang memang berkwalitas tapi tidak punya kesempatan. Jadi apa yang terjadi ketika tanah tanah dibagikan maka kemungkinan 90% akan di jual oleh mereka dan merak tetap akan menjadi buruh tani dan hanya 10% yang dapat mempertahankan lahan miliknya itupun sampai kapan mereka dapat mempertahanya masih perlu dikaji lebih jauh.

Undang undang agraria dilain sisi memberi kesempatan kepada pengusaha untuk menguasai lahan dengan luas beratus ratus hektar yang menjadikan segelintir pengusaha tersebut menjadi raja raja tanah, sementara para taun tuan tuan tanah dan buruh tani menjadi cacing tanah.

Pembatasan lahan memang perlu tapi harus di tinjau lagi, kepemilikan lahan dengan maksimal 2 hektar adalah sangat minim sekali dimana dengan lahan tersebut petani hanya dapat pertahan untuk hidup tidak ada ruang gerak bagi petani untuk berinovasi untuk membuat hidupnya lebih layak bahkan tiba saatnya ketika para pentani harus menjual lahanya untuk kebutuhan yang sangat mendesak.

Salam Petani

By : esawe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar